Seminar Universitas PGRI Semarang, Seminar Nasional Menduniakan Bahasa dan Sastra Indonesia

Font Size: 
Sebelum Mendunia (Perihal Nasib Bahasa dan Sastra Indonesia)
Triyanto Triwikromo

Last modified: 2019-01-18

Abstract


Mari sebelum membahas “menduniakan bahasa dan sastra Indonesia”, kita mulai esai ini dengan pertanyaan kecil: bagaimana sesungguhnya martabat bahasa Indonesia mutakhir? Apakah dengan segera kita bisa menjawab: baik-baik saja? Atau ternyata nasib bahasa Indonesia muncul dalam aneka krisis. Krisis itu mungkin mewujud dalam “kemandulan berbahasa”.[1] Kemandulan berbahasa, menurut Joss Wibisono, peneliti yang kini mukim di Belanda, itu muncul karena ada otoritas bahasa[2] yang sangat ketat mengontrol bahasa dan mengendalikan pikiran orang.

Pengontrolan dan pengendalian di bidang apa pun memang cenderung memberi ruang seluas-luasnya kepada “bahasa atau budaya penguasa” lebih menyeruak dan otomatis menenggelamkan ragam bahasa lain, ragam bahasa yang lebih digunakan oleh rakyat. Kita tidak bisa membayangkan bagaimana jika dalam mengekspresikan pikiran dan perasaaan anak-anak muda menggunakan bahasa yang dianjurkan oleh otoritas bahasa. “Ini teh susu” atau “Kutahu yang kau mau” jelas lahir dari para pendesaian iklan yang tak mau disandera oleh “ragam resmi”.

Selain itu, krisis juga muncul ke permukaan ketika Ajip Rosidi menyatakan, “keadaan perbahasaan kita sekarang berada dalam situasi yang mencemaskan”[3]. Disebut mencemaskan, sebab “kalau terus dibiarkan tidak mustahil nanti Bahasa Indonesia hanya akan menjadi semacam pidgin English”.

[1] Coba simak “Otoritas Bahasa: Perlukah?” dalam Saling Silang Indonesia-Eropa, dari Diktator, Musik, hingga Bahasa (Marjin Kiri, 2012) karya Joss Wibisono.

[2] Otoritas bahasa itu, dalam pandangan Joss Wibisono, mewujud dalam lembaga Pusat Bahasa yang sekarang disebut sebagai Badan Bahasa.

[3] Sila simak Bahasa Indonesia Bahasa Kita, Akan Diganti dengan Bahasa Inggris? (2010) karya Ajip Rosidi.


Full Text: xlii-lvii